My First Backpacking Trip: Jogja Memang Istimewa Part 1

Akhirnya posting juga, setelah satu bulan lebih tidak memperbarui isi blog ini. Berawal dari keinginan untuk backpackeran, akhirnya rencana itu terlaksana pada liburan semester kemarin. Partner in crime saya adalah Lucky. Tujuan kami adalah Jogja. Tentunya kami berencana ke Jogja bukan untuk mendukung penetapan Sri Sultan sebagai Gubernur DIY walaupun saya setuju dengan aspirasi rakyat Jogja tersebut :smile:. Sejak kecil saya setiap Lebaran mengunjungi rumah mbah saya di Imogiri, Jogja. Saya merasa mempunyai chemistry dengan kota ini. Sudah sekitar 4,5 tahun tidak mengunjungi kota ini.

Jauh-jauh hari saya sudah mencari info dan membuat itinerary. Karena perjalanan kami berlabel backpacking tentunya kereta api ekonomi adalah pilihan yang bijak. Tanggal 30 Desember 2010 saya dan Lucky berencana naik KA Kahuripan yang dijadwalkan berangkat pukul 9 malam, tiketnya seharga 24 rb untuk rute Bandung sampai Jogja. Satu jam sebelum keberangkatan para calon penumpang sudah menyemut di stasiun Kiaracondong. Bisa dapet tempat duduk gak ya, pikir saya waktu itu. Kereta yang ditunggu pun datang, namun boro2 dapet tempat duduk masuk pun sulit. But, the show must go on.

Setelah berdesak-desakan akhirnya saya pun dapat masuk juga. Saya berdiri hanya berjarak satu langkah dari bibir pintu masuk. Persis seperti suasana kereta ekonomi saat libur Lebaran, bahkan mungkin lebih parah. Begitulah, trasportasi sejuta umat ini memang pilihan bagi masyarakat Indonesia yang umumnya kalangan menengah ke bawah. Kereta pun perlahan bergerak dan saat itu saya sadar perjalanan sembilan jam ini akan sangat panjang dan akan terekam dalam memori saya.

DAY 1

Stasiun Lempuyangan

Pukul setengah tujuh pagi kereta sampai di stasiun Lempuyangan (fyi, kereta ini tidak turun di stasiun Tugu). Kami pun bergegas turun karena kereta akan melanjutkan perjalanan ke Kediri. Dari stasiun, kami naik becak minta dianterin ke penginapan yang kira-kira masih kosong, saya tahu penginapan di sekitar Malioboro udah pada penuh semua. Si bapak akhirnya nganterin ke Prawirotaman Gang 2. Di sana banyak penginapan buat para backpacker dan karena lagi high season hampir semuanya penuh. Untung masih ada yang kosong. Tapi yang ada hanya kamar eksekutif (220 rb/mlm), daripada nyari2 lagi yang belum tentu dapetnya  akhirnya diputusin nginep disana, besoknya udah bisa pindah ke kamar standar (80 rb/mlm) kok. Oh iya bapak tukang becaknya kami beri 25 rb, katanya harga segitu udah standar. Di kamar, kecapekan abis berdiri 9 jam non-stop di kereta, kami pun tidur bentar dan rencananya setelah sholat Jum’at baru ke Borobudur.

Candi Borobudur

Setelah sholat Jum’at, kami menuju terminal Giwangan naik bus kota. Di sana, karena kelamaaan nunggu bus yang langsung ke Borobudur, akhirnya kami naik bus dulu ke terminal Jombor untuk naik bus ke Borobudur. Bus-nya ga langsung nyampe di candi, kita diturunin di terminal dan untuk ke candinya bisa jalan kaki atau naik andong. Kami tentunya memilih berjalan kaki.

Sampe di candi pukul 4 sore. Tiket masuk candi Borobudur harganya 23 rb. As usual, tempat wisata kalo lagi libur pasti rame. Satu jam udah cukup untuk exploring Borobudur. Karena ada pembersihan abu Merapi pada tingkatan paling atas, wisatawan tidak boleh naik sampai ke tingkatan paling atas.

Di depan Candi Borobudur

Kemegahan Candi Borobudur

.

Tugu Jogja

Dari Borobudur, kami pulang naik bus dan turun di terminal Jombor lalu naik Transjogja menuju Malioboro. Tiket Transjogja seharga 3500. Eh, ternyata busnya melewati Tugu Jogja, akhirnya kami turun di halte Mangkubumi dan foto2 dulu di Tugu Jogja. Kalo mau foto2 di sini hati2, tengok kiri kanan dulu soalnya tugu ini terletak di persimpangan traffic light. Oia, Gunung Merapi, Tugu Jogja, dan Keraton bisa dihubungkan oleh garis lurus imajiner lho..

Di depan Tugu Jogja

Tugu Jogja

Angkringan Lik Man

Lalu, kami menyusuri jalan Mangkubumi lurus ke arah selatan, tujuannya Malioboro. Karena Lucky harus beli tiket kereta buat balik ke Bandung dan sekalian sholat dulu, kami mampir ke stasiun Tugu yang letaknya di sebelah utara Malioboro. Perut udah minta diisi, kami pun makan di Angkringan Lik Man yang letaknya di sebelah utara stasiun. Angkringan Lik Man ini cukup terkenal di Jogja. Menunya nasi kucing, sate telor, sate usus, gorengan, kopi areng/kopi joss, dan lain-lain. Bagi yang belum tahu, kopi joss itu kopi yang dikasih areng, arengnya jangan ikutan diminum ya. Saya sendiri makan 1 nasi kucing, 1 sate usus, 1 sate telor, 1 gorengan, 1 kopi areng, cuma bayar 6500, murah kan… Di sini, sebenarnya ada banyak angkringan lainnya, tapi yang paling terkenal angkringannya Lik Man.

Malioboro New Year’s Eve

Jalan Malioboro

Malam Tahun Baru membuat Malioboro lebih ramai daripada biasanya. Jalan utama dipenuhi kendaraan bermotor yang makin padat menjelang pergantian tahun. Di sini saya dan Lucky hanya berjalan menikmati keramaian Malioboro. Menikmati suasana khas Malioboro di mana warung lesehan berjejer dan pedagang baju dan kerajinan tangan menjajakan dagangannya.

Suasana Malioboro

Kami berjalan terus dan sampai di depan monument Serangan Umum I Maret. Sekitar tempat tersebut telah menjadi lautan manusia. Kami menunggu pergantian tahun menonton acara yang digelar di Monumen SO 1 Maret. Terdapat panggung yang menampilkan musisi muda Jogja yang menyanyikan lagu2 rap. Dan tepat pukul 00.00 gemuruh kembang api terdengar bersahut-sahutan, berlangsung cukup lama sekitar 20 menit.

Fireworks

Fireworks

Pesta kembang api pun usai, saya dan Lucky langsung meninggalkan tempat. Berjalan kaki hampir 4 km menuju penginapan harus kami lakoni, ga ada transportasi lagi waktu itu. Capek banget. Sampai di kamar badan udah kaku semua, he he… Setelah mandi, langsung tiduurr…

–to be continued–





5 thoughts on “My First Backpacking Trip: Jogja Memang Istimewa Part 1

  1. wah bagus bagus… kangen suasana tahun baru di malioboro… kangen makan sego kucing, stasiun tugu, dan semua tentang Jogja… makasi foto2nya.. sudah lama saya tidak melihat jogja ..

    Like

  2. ria says:

    sumpah,,yogya itu emang ngangeninnya parah..
    segala aspek bisa bikin orang yang udah kesana kangen mau balik lagi,,

    tahun baru ini mau kesana lagiiiiii,,mau cobain wisata alamnya juga di gunung kidul,,pasti keren!

    Like

  3. Gerizal says:

    Membentang di atas sumbu imajiner yang menghubungkan Kraton Yogyakarta, Tugu dan puncak Gunung Merapi, jalan ini terbentuk menjadi suatu lokalitas perdagangan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono I mengembangkan sarana perdagangan melalui sebuah pasar tradisional semenjak tahun 1758. Setelah berlalu 248 tahun, tempat itu masih bertahan sebagai suatu kawasan perdagangan bahkan menjadi salah satu ikon Yogyakarta yang dikenal dengan Malioboro.
    Terletak sekitar 800 meter dari Kraton Yogyakarta, tempat ini dulunya dipenuhi dengan karangan bunga setiap kali Kraton melaksanakan perayaan. Malioboro yang dalam bahasa sansekerta berarti “karangan bunga” menjadi dasar penamaan jalan tersebut.
    Diapit pertokoan, perkantoran, rumah makan, hotel berbintang dan bangunan bersejarah, jalan yang dulunya sempat menjadi basis perjuangan saat agresi militer Belanda ke-2 pada tahun 1948 juga pernah menjadi lahan pengembaraan para seniman yang tergabung dalam komunitas Persada Studi Klub (PSK) pimpinan seniman Umbul Landu Paranggi semenjak tahun 1970-an hingga sekitar tahun 1990.

    Menikmati pengalaman berbelanja, berburu cinderamata khas Jogja, wisatawan bisa berjalan kaki sepanjang bahu jalan yang berkoridor (arcade). Di sini akan ditemui banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya. Mulai dari produk kerajinan lokal seperti batik, hiasan rotan, wayang kulit, kerajinan bambu (gantungan kunci, lampu hias dan lain sebagainya) juga blangkon (topi khas Jawa/Jogja) serta barang-barang perak, hingga pedagang yang menjual pernak pernik umum yang banyak ditemui di tempat perdagangan lain. Sepanjang arcade, wisatawan selain bisa berbelanja dengan tenang dalam kondisi cerah maupun hujan, juga bisa menikmati pengalaman belanja yang menyenangkan saat menawar harga. Jika beruntung, bisa berkurang sepertiga atau bahkan separohnya.

    Jangan lupa untuk menyisakan sedikit tenaga. Masih ada pasar tradisional yang harus dikunjungi. Di tempat yang dikenal dengan Pasar Beringharjo, selain wisatawan bisa menjumpai barang-barang sejenis yang dijual di sepanjang arcade, pasar ini menyediakan beraneka produk tradisional yang lebih lengkap. Selain produk lokal Jogja, juga tersedia produk daerah tetangga seperti batik Pekalongan atau batik Solo. Mencari batik tulis atau batik print, atau sekedar mencari tirai penghias jendela dengan motif unik serta sprei indah bermotif batik. Tempat ini akan memuaskan hasrat berbelanja barang-barang unik dengan harga yang lebih murah.

    Berbelanja di kawasan Malioboro serta Beringharjo, pastikan tidak tertipu dengan harga yang ditawarkan. Biasanya para penjual menaikkan harga dari biasanya bagi para wisatawan.

    Di penghujung jalan “karangan bunga” ini, wisatawan dapat mampir sebentar di Benteng Vredeburg yang berhadapan dengan Gedung Agung. Benteng ini dulunya merupakan basis perlindungan Belanda dari kemungkinan serangan pasukan Kraton. Seperti lazimnya setiap benteng, tempat yang dibangun tahun 1765 ini berbentuk tembok tinggi persegi melingkari areal di dalamnya dengan menara pemantau di empat penjurunya yang digunakan sebagai tempat patroli. Dari menara paling selatan, YogYES sempat menikmati pemandangan ke Kraton Kesultanan Yogyakarta serta beberapa bangunan historis lainnya.
    Sedangkan Gedung Agung yang terletak di depannya pernah menjadi tempat kediaman Kepala Administrasi Kolonial Belanda sejak tahun 1946 hingga 1949. Selain itu sempat menjadi Istana Negara pada masa kepresidenan Soekarno ketika Ibukota Negara dipindahkan ke Yogyakarta.

    Saat matahari mulai terbenam, ketika lampu-lampu jalan dan pertokoan mulai dinyalakan yang menambah indahnya suasana Malioboro, satu persatu lapak lesehan mulai digelar. Makanan khas Jogja seperti gudeg atau pecel lele bisa dinikmati disini selain masakan oriental ataupun sea food serta masakan Padang. Serta hiburan lagu-lagu hits atau tembang kenangan oleh para pengamen jalanan ketika bersantap.
    Bagi para wisatawan yang ingin mencicipi masakan di sepanjang jalan Malioboro, mintalah daftar harga dan pastikan pada penjual, untuk menghindari naiknya harga secara tidak wajar.
    Mengunjungi Yogyakarta yang dikenal dengan “Museum Hidup Kebudayaan Jawa”, terasa kurang lengkap tanpa mampir ke jalan yang telah banyak menyimpan berbagai cerita sejarah perjuangan Bangsa Indonesia serta dipenuhi dengan beraneka cinderamata. Surga bagi penikmat sejarah dan pemburu cinderamata.

    Like

Leave a comment